Pandangan
Islam Tentang Hidup dan Tuhan
A.
Pandangan
Islam tentang hidup
Apa hidup itu? Banyak Jawaban yang dapat dikemukakan berdasarkan
berbagai perspektif. Hidup adalah: Gerak atau dinamika, ada juga pendapat yang
mengatakan bahwa hidup adalah sesuatu yang bergerak atau berubah ditandai
dengan adanya nyawa dalam sesuatu itu sendiri. Jadi, bagaimanakah pandangan
islam tentang hidup itu sendiri? Banyak
yang memberi pengertian terkait dengan pandangan islam tentang hidup, diantanya
adalah:
a.
Hidup
adalah kesempatan untuk beribadah dan mencari ridhanya, seperti yang telah
diungkakapkan dalam Al-qur’an “Dan Aku(Allah) tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku” Firman Allah ini mengisyaratkan
dengan jelas bahwasanya beribadah bagi manusia adalah target, sekaligus tujuan
dan tugas dalam hidup ini, disamping kewajiban dan keharusan. Jadi bukan
sekedar instrumental, ibadah juga sangat esensial. Didalam beribadah terdapat
motif yang menjadi nafas kehidupan
segala tujuan kehidupan orang islam. Masalahnya adalah ada sebagian orang yang
menganggap bahwa ibadah hanya bersifat instrumental, sekedar proses, alat, tugas
dan bukan tujuan. Karena kata ibadah merupakan kata kerja. Padahal segala
tujuan seperti ridha Allah, hasanatan fiddunya wal akhirh, surga dan
tujuan muslim mana saja, tidak akan bernilai seperti yang dimaksud, kehilangan
makna esensialnya, bila tidak disertai motif dan orientasi ibadah.
Seluruh
tujuan itu harus menyatu dengan niat dan warna ibadah. Oleh karena itu “ibadah pun
tepat dijadikan tumpuan tujuan hidup”. Tidak mengamalkannya berarti batal
meraih tujuan hidup. Kesadaran demikian sangat tepat dijadikan sumber motifasi beramal.
Pernyataan ini, tentu saja tidak berarti menolak pendapat yang menegaskan
bahwasanya tujuan hidup seorang musim adalah Ridha Allah, surga dan sebagainya.
Sebab semua itu hakikatnya merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan. Tujuan
Hidup orang islam adalah beribadah alias mencari ridha Allah, dan berarti
memperoleh surga. Tidak mengamalkan berarti kegagalan. Ibarat ekspedisi atau
kafilah menuju pulau impian, karena asyik di perjalanan akhirnya tesesat di
lembah neraka yang sangat mengerikan dan yang abadi menyengsarakan. Disana ia
terperangkap dan tak pernah mampu melepaskan diri. Pemahaman dan kesadaran
demikian, tetap dijadikan sumber motivasi dan sangat perlu dijadikan sumber motivasi
usaha dan berjuang secara terus menerus hingga menjadi hamba Allah yang shaleh.
Pandangan islam tentang hidup tersebut diatas, bila berhasil diinternalisasikan
kedalam kepribadian peserta didik nicaya menimbulkan implikasi yang sangat
positif, besar dan memberikan makna yang luar biasa. Menjadikan hidup dan kehidupan
di dunia ini sebagai ladang ibadah alam mazra’atul akhirah, dan mencari
ridha Allah.
b.
Hidup
adalah medan untuk melaksanakan tugas sebagai khalifah Allah di muka bumi, sesuai dengan firmannya
dalam Al-qur’an yang artinya (“Dan dialah yang menjadikan kamu
penguasa-penguasa di bumi dan dia meninggikan sebagian kamu atau sebagian (yang
lain) berapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberitakan kepadamu, QS
Albaqarah :30).
c.
Hidup
adalah kesempatan untuk beraktualisasi diri dan beramal kepada Allah yang
mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan sesuai dengan
firman Allah daam surat Attaubah ayat 105 yang artinya: “Dan katakanah,
bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasulnya beserta orang-orang mukmin akan
melihat pekerjaan itu, dan kamu akan dikembalikanNya kepada kamu apa yang telah
kamu kerjakan”. Jadi hidup adalah medan untuk berkiprah, berusaha, dan
bekerja. Kemalasan dan keengganan beramal merupakan sumber kegagalan serta
kehinaan. Setiap amal positif hendaknya diniatkan ibadah. Karena nilai
perbuatan menurut islam tidak lepas, bahkan ditentukan oleh niat dan
motivasinya. Hidup merupakan kesempatan menabung pahala dengan amal. Pelaku
akan memperoleh balasan yang belipat di akhirat kelak, selain menuai buah yang
sebagian diantaranya sudah dapat dinikmati di dunia. Hal ini sesua dengan firman
Allah dalam Al-qur’an surah Al-zalzalah ayat 7-8: (Barang siapa yang
menygerjakan kebaikan seberat zarrah niscaya dia akan melihat balasanya dan
barang siapa yang melakukan keburukan seberat zarrah, dan ia juga akan menerima
balasannya).
d.
Hidup
sebagai tempat ujian. Dilihat dari segi ini, ujian tidak hanya berupa musibah,
penderitan dan realitas yang tidak diharapkan. Kenikmatan serta pilihan-pilihan
yang diharapkan juga ujian. Aneka warna ujian yang terdapat di dunia ini,
seperti firman Allah Qs.Alkahfi ayat 7 yang artinya: (“Sesungguhnya kami
telah menjadikan apa yang ada dibumi sebagai perhiasan baginya, agar kami
menguji mereka siapa diantara mereka yang terbaik perbuatannya).
Oleh
karna itu muslim dan muslimah harus sabar dan tidak berputus asa bila mengalami
musibah atau sesuatu yang tidak diharapkan. Ia juga tidak lupa diri dari dan
sombong bila menjadi kaya, memperoleh jabatan dan kenikmatan-kenikmatan duniawi
lainnya. Karena ia selalu ingat, setiap keadaan dan kejadian dalam hidup dan
kehidupan dunia ini, hakikatnya merupakan ujian yang harus ia hadapi secara baik
dan proposiaonal.
Maka wawasan islam tentang hidup dan
kehidupan seperti yang telah dijelaskan diatas mestinya diajarkan dan diinternalisasikan
ke dalam diri (cara berfikir, pandangan, keyakinan dan falsafah hidup) peserta
didik, menjadi nilai-nilai yang membentuk konsep diri dan sikap hidupnya. Namun
dalam proses internalisasi perlu diiringi dengan wawasan realistik keduniaan
yang beraneka ragam, dengan analisis yang cerdas dan proposional, hinga
perserta didik terhindar dari sikap mudah frustasi, kehilangan pegangan,
terjerumus kepada pemahaman parsial, ekstrom, dan sebagainya. Peserta didik
lalu memiliki pendirian dan sikap hidup yang bisa dipertangungjawabkan, mantap,
toleran dan kreatif proposional.
B.
Pandangan
Islam Tentang Tuhan
a)
Pengertian Tuhan[1]
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tuhan adalah sesuatu yang
diyakini, dipuja, disembah oleh manusia, sebagai yang Maha Kuasa, Maha Perkasa
dan lain sebagainya.
Berangkat dari pengertian Tuhan seperti tersebut di atas, maka
dalam dinamisme, kekuatan gaib yang misterius adalah Tuhan. Dalam Animisme, ruh
adalah Tuhan. Dalam politeisme; Indra, Vitra dan Varuna dalam agama Veda adalah
Tuhan. Brahma, Wisnu dan Syiwa dalam agama Hindu adalah Tuhan. Osiris, Isis dan
Herus dalam agama Mesir Kuno adalah Tuhan. Al-Latta, al-Uzza dan Manata dalam
agama Arab Jahiliyah adalah Tuhan. Dalam agama Kristen, Allah Tritunggal adalah
Tuhan dan dalam agama Islam Allah SWT adalah Tuhan.
Jadi Tuhan itu memang banyak, sebanyak agama yang ada di dunia ini
dan yang dianut manusia. Sedangkan Indra, Vitra dan Varuna; Brahma, Wisnu dan
Syiwa; Allah Tritunggal dan Allah SWT adalah nama-nama Tuhan. Dengan perkataan
lain, Tuhan adalah nama jabatan. Sedangkan Indra, Vitra dan Varuna; Brahma,
Wisnu dan Syiwa, Allah Tritunggal dan Allah SWT adalah nama diri Tuhan. Jika
dianalogikan dengan perkataan Presiden, yakni Presiden adalah nama jabatan
tertinggi pada Negara republik. Karena itu, Negara-negara yang berbentuk
republik ada pejabat yang disebut presiden, sedangkan nama diri dari presiden
berbeda-beda seperti Susilo Bambang Yudhoyono, George W. Bush, Saddam Husein
dan sebagainya adalah nama diri dari presiden.
b)
Pengertian Tuhan dalam Perspektif Islam[2]
Untuk mengetahui pengertian Tuhan dalam Islam, maka perlu dikaji
rujukan dari al-Qur’an tentang kata-kata yang memiliki makna Tuhan. Dalam
al-Qur’an, perkataan Tuhan dikenal dengan istilah Rabb, Maalik atau Malik dan
Ilaah. Masing-masing istilah tersebut mempunyai tekanan arti sendiri-sendiri.
I. Rabb
Dalam al-Qur’an, perkataan Rabb sering dihubungkan dengan kata
kerja seperti yang terdapat di dalam surat al-Alaq (96) ayat 1-5:
Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan.
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah yang
paling Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia
mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”.
Perkataan ‘Rabb’ yang dihubungkan dengan kata kerja juga terdapat di
dalam al-Qur’an surat al-A’la (87) ayat 1-5:
Artinya: “Sucikanlah nama Tuhanmu yang Paling Tinggi, yang
menciptakan dan menyempurnakan (penciptaan-Nya) dan yang menentukan kadar
(masing-masing) dan memberikan petunjuk dan yang menumbuhkan rumput-rumputan,
lalu dijadikan-Nya rumput itu kehitam-hitaman”.
Dalam surat al-Alaq (96) ayat 1-5 itu terdapat empat kata kerja,
yaitu dua kata kerja ‘menciptakan’ dan dua kata kerja ‘mengajar’, sedangkan
dalam al-Qur’an surat al-A’la (87) ayat 1-5 itu terdapat kata kerja:
menciptakan, menentukan, memberi petunjuk, menumbuhkan dan menjadikan. Karena
itu, Rabb mempunyai pengertian Tuhan yang berbuat aktif. Jadi, Dia hidup dan
ada dengan sesungguhnya, bukan ada dalam pikiran saja.
Selanjutnya,
kata Rabb dapat dipakai untuk menyebut selain Allah SWT, seperti yang terdapat
dalam surat al-Taubah (9) ayat 31 yang berbunyi: Artinya: “Mereka menjadikan
orang-orang alim mereka dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah”.
II. Malik
Dalam al-Qur’an, kata Malik dipakai untuk menunjuk pada
Tuhan yang berkuasa, mempunyai, memiliki atau merajai sesuatu. Al-Qur’an surat
al-Fatihah (1) ayat 4 menyebutkan: maalikiyaumi al-din, artinya yang menguasai
hari pembalasan, sedangkan di dalam surat al-Nas (114) ayat 2 menyebutkan:
malik al-nas, artinya Raja manusia.
Secara kronologis, kata Malik menduduki jabatan kedua
setelah Rabb, artinya apabila Rabb itu menunjuk pada yang berbuat aktif, maka
Malik menunjuk pada yang menguasai semua apa yang telah diperbuat-Nya tadi.
Karena kedua kata itu ditujukan kepada Allah SWT, maka berarti bahwa Allah SWT
itu pencipta alam dan Dia pula yang menguasainya.
III. Ilaah
Secara etimologis ‘Ilaah’ mempunyai arti sebagai yang
disembah dengan sebenarnya atau tidak sebenarnya.13 Apa saja yang disembah
manusia, dia itu Ilaah namanya. Apabila manusia menyembah hawa nafsunya dalam
arti selalu mengikuti jejaknya, maka hawa nafsu itulah Ilahnya atau Tuhannya
yang disembah. Al-Qur’an surat al-Furqon (25) ayat 44 menyebutkan: Artinya:
“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai
Tuhannya”.
Meskipun segala sesuatu dapat disebut sebagai Ilaah,
namun Ilaah yang sebenarnya ialah Ilaah yang mempunyai jabatan Robbun dan
Malikun. Dengan kata lain, walaupun segala sesuatu dapat dipertuhan dan
disembah manusia, namun Tuhan yang sebenarnya yang berhak disembah manusia
ialah Tuhan pencipta dan penguasa alam semesta yaitu Allah SWT.
Ibnu Jarir berpendapat sesungguhnya berdasarkan kepada
apa-apa yang diriwayatkan kepada kami oleh Ibnu Abbas menyatakan bahwa Allah
itu ialah Empunya Ketuhanan dan yang Empunya penyembahan wajib atas makhluk-Nya
seluruhnya.
Sibawaih menyebutkan keterangan dari Khalil bahwa asal
kata ‘Allah’ ialah Ilah, lalu ditambahkan alif menjadi Ilaah, sedangkan huruf
lam di depannya sebagai ganti dari huruf hamzah. Acuan kata dari Ilaah adalah
fi’aal. Begitu juga contoh lainnya adalah al-naasu asalnya dari unaasun.
Al-Kasa’i dan al-Farra berpendapat bahwa asal perkataan
Allah itu dari kata al-Ilaah, lalu dibuang hamzah huruf ‘i’. Kemudian huruf ‘l’
(lam) pertama itu dimasukkan kepada huruf ‘l’ (lam) yang kedua, maka jadilah
perkataan ‘ALLAH’.
Pendapat senada juga diungkapkan oleh Ibnu Abbas bahwa
asalnya ialah al-Ilaahu artinya yang disembah, lalu dibuang hamzah yaitu huruf
i, maka bertemulah huruf l (lam) dan huruf l (lam), berarti berkumpulnya huruf
l (lam) pertama dan huruf yang l (lam) kedua menjadi dua huruf l (lam).
Ucapannya disangatkan, dilisankan menjadi ‘Alloh’.
Karena Allah SWT adalah Tuhan yang sebenarnya yang berhak disembah
manusia, dan Dia adalah Tuhan pencipta alam semesta serta penguasanya, maka
manusia dilarang mengangkat sekutu bagi-Nya. Sebagaimana firman Allah dalam
surat al-Baqarah (2) ayat 22: Artinya: “Janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu
bagi Allah, padahal kamu mengetahui”
Dari penjelasan ayat tersebut jelaslah bahwa Allah SWT
melarang manusia mengangkat tandingan-tandingan yang menjadi sekutu bagi Allah.
Maksudnya ada persamaan-persamaan dalam ibadah dan ketaatan. Padahal dia
mengetahui bahwa amal perbuatan itu diperuntukkan kepada Allah saja bukan
kepada lain-Nya, hanyalah Dia yang menjadi Tuhan mereka, Penciptanya dan
Pencipta orang-orang sebelumnya. Pencipta bumi yang terhampar dan langit yang
terbina. Dia yang menurunkan air dari langit, kemudian dengan itu pula Dia
menyegarkan tumbuhnya bermacam-macam buah-buahan sebagai rezeki bagi mereka.
Jadi, seseorang yang telah mengetahui yang demikian itu, tidak diperkenankan
mengangkat sekutu-sekutu sebagai tandingan Allah.
Menurut riwayat Ibnu Abi Hatim bahwa syirik dapat
menjelma dalam ungkapan-ungkapan kata seperti, “Demi Allah dan demi kehidupanmu
hai Fulan, demi hidupku”, dan ucapan, “Kalau tidak ada anjing ini kita
didatangi pencuri”, dan kalimat “Kalau tidak ada angsa kecil di rumah itu tentu
akan didatangi oleh pencuri”. Demikian juga kata-kata seseorang kepada
temannya, “Apa yang dikehendaki oleh Allah dan kehendakmu”, dan ucapan
seseorang “Kalau bukan karena Allah dan Fulan”. Seseorang tidak diperkenankan
mencantumkan di dalamnya kata-kata fulan karena inilah semuanya yang
menyebabkan syirik.
Atsar tersebut di atas, menurut Syeikh Muhammad bin
Abdul Wahab memiliki sanad yang baik, dan ia mengatakan bahwa kata-kata
tersebut ialah yang lebih tersembunyi daripada semut halus di atas batu hitam
di kegelapan malam. Artinya, perkara-perkara ini adalah syirik yang tersembunyi
di kalangan manusia, tidak ada yang menyelidiki dan mengetahuinya kecuali
sedikit dan dijadikan perumpamaan demikian karena tersembunyinya hal tersebut
dengan selubung yang rapi.
Oleh karena itu, kita harus hati-hati dan selektif
dalam berbuat dan berkata supaya terhindar dari syirik sebab perbuatan syirik
sangat riskan, bisa membuat pelakunya menjadi kafir. Sebagaimana firman Allah
SWT dalam surat al-Maidah (5) ayat 17 dan ayat 73 yang artinya: “Sesungguhnya
telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah itu ialah al-Masih
putera Maryam. Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan bahwasanya
Allah salah satu dari yang tiga”.
Amal orang-orang kafir tidak mendapatkan pahala di sisi
Allah. Di dalam al-Qur’an digambarkan bahwa amal orang kafir seperti
fatamorgana. Dari jauh kelihatan ada air, tetapi ketika didekati tidak ada
apa-apa. Sebagaimana terdapat di dalam surat an-Nur (24) ayat 39 yang artinya:
“Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah
yang datar yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila
didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun”.
Jadi, Untuk memperoleh pengetahuan siapa dan bagaimana
Allah, manusia mesti menempuh jalan iman sepenuh iman.
IV. Pengertian
Iman
Kebanyakan orang menyatakan bahwa kata iman berasal dari kata kerja
amina-yu’manu-amanan yang berarti percaya. Oleh karena itu, iman yang berarti
percaya menunjuk sikap batin yang terletak dalam hati. Akibatnya, orang yang
percaya kepada Allah dan selainnya seperti yang ada dalam rukun iman, walaupun
dalam sikap kesehariannya tidak mencerminkan ketaatan dan kepatuhan (taqwa)
kepada yang telah dipercayainya, masih disebut orang yang beriman. Hal itu
disebabkan karena adanya keyakinan mereka bahwa yang tahu tentang urusan hati
manusia adalah Allah dan dengan membaca dua kalimah syahadat telah menjadi
Islam.
Dalam surah al-Baqarah ayat 165 dikatakan bahwa orang yang
beriman adalah orang yang amat sangat cinta kepada Allah (asyaddu hubban
lillah). Oleh karena itu beriman kepada Allah berarti amat sangat rindu
terhadap ajaran Allah, yaitu Al-Quran menurut Sunnah Rasul. Hal itu karena apa
yang dikehendaki Allah, menjadi kehendak orang yang beriman, sehingga dapat
menimbulkan tekad untuk mengorbankan segalanya dan kalau perlu mempertaruhkan
nyawa.
Dalam hadits diriwayatkan Ibnu Majah Atthabrani, iman didefinisikan
dengan keyakinan dalam hati, diikrarkan dengan lisan, dan diwujudkan dengan
amal perbuatan (Al-Immaanu ‘aqdun bil qalbi waigraarun billisaani wa’amalun bil
arkaan). Dengan demikian, iman merupakan kesatuan atau keselarasan antara hati,
ucapan, dan laku perbuatan, serta dapat juga dikatakan sebagai pandangan dan
sikap hidup atau gaya hidup.
Istilah iman dalam al-Qur’an selalu dirangkaikan dengan kata lain
yang memberikan corak dan warna tentang sesuatu yang diimani, seperti dalam
surat an-Nisa’:51 yang dikaitkan dengan jibti (kebatinan/idealisme)
dan thaghut (realita/naturalisme). Sedangkan dalam surat al-Ankabut:
52 dikaitkan dengan kata bathil, yaitu walladziina aamanuu bil
baathili. Bhatil berarti tidak benar menurut Allah. Dalam surat
lain iman dirangkaikan dengan kata kaafir atau dengan kata Allah. Sementara
dalam al-Baqarah: 4, iman dirangkaikan dengan kata ajaran yang diturunkan Allah
(yu’minuuna bimaa unzila ilaika wamaa unzila min qablika).
Kata iman yang tidak dirangkaikan dengan kata lain dalam al-Qur’an,
mengandung arti positif. Dengan demikian, kata iman yang tidak dikaitkan dengan
kata Allah atau dengan ajarannya, dikatakan sebagai iman haq.
Sedangkan yang dikaitkan dengan selainnya, disebut iman bathil.
V. Wujud
Iman
Akidah Islam dalam al-Qur’an disebut iman. Iman bukan hanya berarti
percaya, melainkan keyakinan yang mendorong seorang muslim untuk berbuat. Oleh
karena itu lapangan iman sangat luas, bahkan mencakup segala sesuatu yang
dilakukan seorang muslim yang disebut amal saleh.
Seseorang dinyatakan iman bukan hanya percaya terhadap sesuatu,
melainkan kepercayaan itu mendorongnya untuk mengucapkan dan melakukan sesuatu
sesuai dengan keyakinan. Karena itu iman bukan hanya dipercayai atau diucapkan,
melainkan menyatu secara utuh dalam diri seseorang yang dibuktikan dalam
perbuatannya.
Akidah Islam adalah bagian yang paling pokok dalam agama Islam. Ia
merupakan keyakinan yang menjadi dasar dari segala sesuatu tindakan atau amal.
Seseorang dipandang sebagai muslim atau bukan muslim tergantung pada akidahnya.
Apabila ia berakidah Islam, maka segala sesuatu yang dilakukannya akan bernilai
sebagai amaliah seorang muslim atau amal saleh. Apabila tidak beraqidah, maka
segala amalnya tidak memiliki arti apa-apa, kendatipun perbuatan yang dilakukan
bernilai dalam pendengaran manusia.
Akidah Islam atau iman mengikat seorang muslim, sehingga ia terikat
dengan segala aturan hukum yang datang dari Islam. Oleh karena itu menjadi
seorang muslim berarti meyakini dan melaksanakan segala sesuatu yang diatur
dalam ajaran Islam. Seluruh hidupnya didasarkan pada ajaran Islam.
VI. Proses
Terbentuknya Iman
Spermatozoa dan ovum yang diproduksi dan dipertemukan atas dasar
ketentuan yang digariskan ajaran Allah, merupakan benih yang baik. Allah
menginginkan agar makanan yang dimakan berasal dari rezeki yang halalanthayyiban.
Pandangan dan sikap hidup seorang ibu yang sedang hamil mempengaruhi psikis
yang dikandungnya. Ibu yang mengandung tidak lepas dari pengaruh suami, maka
secara tidak langsung pandangan dan sikap hidup suami juga berpengaruh secara
psikologis terhadap bayi yang sedang dikandung. Oleh karena jika seseorang
menginginkan anaknya kelak menjadi mukmin yang muttaqin, maka isteri
hendaknya berpandangan dan bersikap sesuai dengan yang dikehendaki Allah.
Benih iman yang dibawa sejak dalam kandungan memerlukan pemupukan yang
berkesinambungan. Benih yang unggul apabila tidak disertai pemeliharaan yang
intensif, besar kemungkinan menjadi punah. Demikian pula halnya dengan benih
iman. Berbagai pengaruh terhadap seseorang akan mengarahkan iman/kepribadian
seseorang, baik yang datang dari lingkungan keluarga, masyarakat, pendidikan,
maupun lingkungan termasuk benda-benda mati seperti cuaca, tanah, air, dan
lingkungan flora serta fauna.
Pengaruh pendidikan keluarga secara langsung maupun tidak langsung,
baik yang disengaja maupun tidak disengaja amat berpengaruh terhadap iman
seseorang. Tingkah laku orang tua dalam rumah tangga senantiasa merupakan
contoh dan teladan bagi anak-anak. Tingkah laku yang baik maupun yang buruk
akan ditiru anak-anaknya. Jangan diharapkan anak berperilaku baik, apabila
orang tuanya selalu melakukan perbuatan yang tercela. Dalam hal ini Nabi SAW
bersabda, “Setiap anak, lahir membawa fitrah. Orang tuanya yang berperan
menjadikan anak tersebut menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi”.
Pada dasarnya, proses pembentukan iman juga demikian. Diawali dengan
proses perkenalan, kemudian meningkat menjadi senang atau benci. Mengenal
ajaran Allah adalah langkah awal dalam mencapai iman kepada Allah. Jika
seseorang tidak mengenal ajaran Allah, maka orang tersebut tidak mungkin
beriman kepada Allah.
Seseorang yang menghendaki anaknya menjadi mukmin kepada Allah, maka
ajaran Allah harus diperkenalkan sedini mungkin sesuai dengan kemampuan anak
itu dari tingkat verbal sampai tingkat pemahaman. Bagaimana seorang anak menjadi
mukmin, jika kepada mereka tidak diperkenalkan al-Qur’an.
Di samping proses pengenalan, proses pembiasaan juga perlu
diperhatikan, karena tanpa pembiasaan, seseorang bisa saja semula benci berubah
menjadi senang. Seorang anak harus dibiasakan untuk melaksanakan apa yang
diperintahkan Allah dan menjauhi hal-hal yang dilarang-Nya, agar kelak setelah
dewasa menjadi senang dan terampil dalam melaksanakan ajaran-ajaran Allah.
Berbuat sesuatu secara fisik adalah satu bentuk tingkah laku yang mudah
dilihat dan diukur. Tetapi tingkah laku tidak terdiri atas perbuatan yang
tampak saja. Di dalamnya tercakup juga sikap-sikap mental yang tidak selalu
mudah ditanggapi kecuali secara fisik langsung (misalnya, melalui ucapan atau
perbuatan yang diduga dapat menggambarkan sikap mental tersebut), bahkan secara
tidak langsung itu adakalanya cukup sulit menarik kesimpulan yang teliti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar